Komnas Perempuan menilai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) belum memberikan akses keadilan kepada perempuan dan anak. Sebab, kata Komnas Perempuan, dalam perjalanannya, RUU itu justru tidak akan mengatur pemidanaan.
“Ini perlu kita catat bahwa perkembangan ini RUU PKS tidak memiliki kedayagunaan yang kuat dalam membangun kesetaraan perempuan korban di depan hukum. Saya kira ini melemahkan posisi korban mendapatkan akses keadilan,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati saat jumpa pers di kantornya, Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (30/8/2019).
Sri mengatakan RUU PKS memang sangat mendesak untuk disahkan. Namun, bukan berarti aturan-aturan di dalamnya justru malah melemahkan posisi perempuan untuk mendapatkan keadilan.
“(Karena) Beberapa respons anggota Panja menunjukkan bahwa RUU akan segera disahkan tetapi dengan catatan RUU tidak akan mengarah ke hukum pidana khusus tetapi mengarah kepada hukum administratif. Menurut Komnas Perempuan hukum administratif ini pada akhirnya berisi pencegahan dan pemulihan. Sementara jenis tindak pidananya , kemudian pemidanannya, hukum acaranya yang menopang akses keadilan korban ini tidak akan diatur di dalam RUU PKS,” tuturnya.
Hal senada juga disampaikan Ketua Komnas Perempuan, Azriana. Azriana enggan RUU PKS hanya berakhir seperti UU Disabilitas ataupun UU Kesehatan yang tidak mengatur pemidanaan di dalamnya.
“Kalau ada sanksi pun, sanksi administratif,” kata Azriana.
Azriana menjelaskan semangat dalam perancangan RUU PKS ini adalah untuk memberikan akses keadilan pada perempuan dan anak. Sebab, selama ini perempuan kerap mendapatkan hambatan untuk mendapatkan akses keadilan.
“Kita untuk RUU PKS sebagaimana sudah sering disampaikan di dalam naskah akademik juga ditemukan hal yany paling utama dari kemendesakan lahirnya UU ini tentu hambatannya akses keadilan. Jadi hambatan masyarakat atas keadilan. Kalau persisnya seperti apa, misal selain kekerasan seksual ini terbatas sekali dikenali di KUHP, kita bicara pemidanaan. Kita bicara tindak pindana. Kekerasaan seksual yang harusnya menjadi tindak pidana, dikenal cukup utuh KUHP, tapi dikenalnya sangat terbatas, akibatnya banyak kekerasan seksual yang sebenernya tindak pidana tidak bisa pelaku dipidana,” paparnya.
“Kalau RUU ini disahkan hanya UU administratif dia nggak menjawab persoalan tadi. Kita juga RUU hukum pidana kita sedang dibahas dan kita kita lihat di RUU hukum pidana kita kekerasan seksual, pemerkosaan ada kalau dilihat di draftnya sekarang, perbuatan cabut, yang lainnya tidak ada,” sambung Azriana.
Seperti diketahui, RUU PKS hingga saat ini masih menjadi pembahasan di DPR. Wakil Ketua Komisi VIII dari F-PKB Marwan Dasopang mengatakan penyelesaian RUU PKS masih menunggu RUU KUHP. Sebab, ada aturan-aturan di mana RUU PKS menginduk pada RUU KUHP khususnya tentang pemidanaan perkosaan, pencabulan, dan perzinahan.
sumber : detik.com