Harta atau barang-barang tertentu yang diperoleh sua-mi/istri dengan cuma-cuma (omniet) karena perwarisan se cara testamentoir. secara /egoof/hadiah, tidak bisa dianggap sebagai harta gono-gini. Hal ini diatur dalam KUHPer pasal 120, “Berkenaan dengan soal keuntungan. maka harta bersa-ma itu meltputt barang barang bergerak dan barang-barang tak bergerak suami istri itu, baik yang ada maupun yang akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh cuma-cuma, kecuali jika dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau yang menentukan kebalikannya dengan tegas”.
Luasnya kebersamaan (percampuran) harta kekayaan dalam perkawinan adalah mencakup seluruh activa dan pas- siva, baik yang diperoleh suami istri sebelum atau selama masa perkawinan mereka berlangsung (seperti harta bawaan dan harta perolehan), yang juga termasuk di dalamnya adalah modal, bunga, dan bahkan utang-utang yang diakibatkan oleh suatu perbuatan yang melanggar hukum.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka kebersamaan harta kekayaan dalam perkawinan itu merupakan hak milik bersama yang terikat {gebonden medeeigendom), yaitu kebersamaan harta yang terjadi karena adanya ikatan di antara para pemi- liknya. Hak milik bersama yang terikat ini berbeda dengan hak milik bersama yang bebas (vrije medeeigendom), yaitu suatu bentuk eigendom (hak milik), tetapi di antara para pemiliknya tidak ada hubungan hukum kecuali mereka bersama-sama merupakan pemiliknya (seperti dua orang yang membeli rumah). Dalam ketentuan hak milik bersama yang terikat, tidak bisa ditunjukkan mana bagian mereka masing-masing, atau mana separuh milik suami/istri. Meskipun suami istri mempu- nyai hak atas kekayaan masing-masing, mereka tidak dapat melakukan kesalahan atau penyimpangan (beschikking) atas bagian mereka (Soetojo Prawirohamidjojo dan Martalena Po- han (2000: 54-55)).
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa harta gono-gini dalam sebuah perkawinan mencakup harta benda suami istri selama masa perkawinan mereka, kecuali harta bawaan dan harta perolehan. Namun, calon suami istri yang akan menikah bisa “membatasi” atau “meniadakan” kebersa- maan harta benda mereka melalui perjanjian perkawinan yang mereka buat. Dasarnya adalah KUHPer pasal 139, “Para calon suami istri, dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai harta bersama, asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik atau dengan tata tertib umum, dan diindahkan pula ketentuan ketentuan berikut”.
Jika dibatasi, yang terjadi adalah kebersamaan harta kekayaan yang “terbatas” (beperkte gemeenschap van goed- eren). Calon suami istri bebas menentukan bagaimana pem- batasan kebersamaan harta kekayaan mereka. Untuk dapat mengetahui secara tepat bagaimana keadaan kebersamaan harta kekayaan yang terbatas, maka calon suami istri harus mencermati bagaimana isi perjanjian yang akan mereka buat. Sebagai contoh, calon suami istri dapat menentukan bahwa benda-benda yang dibawa oleh pasangan suami istri dalam perkawinan tidak akan masuk dalam kebersamaan harta kekayaan (harta gono-gini), kecuali benda-benda berwujud, seperti benda-benda bergerak dan yang tidak bergerak, tetap masuk dalam harta benda yang dimiliki secara bersama (Soe- tojo Prawirohamidjojo dan Martalena Pohan (2000: 54)).
Berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku, ada dua contoh kebersamaan harta terbatas, yaitu kebersa- maan untung dan rugi {gemeenschap van winst en verlies) serta kebersamaan hasil dan pendapatan {gemeenschap van vruchten en inkomsten). KUHPer pasal 164 mengatur, “Per- janjian. bahwa antara suami istri hanya akan ada gabungan penghasilan dan pendapatan saja, mengandung arti secara diam-diam bahwa tiada gabungan harta bersama secara menyeluruh menurut undang-undang dan tiada pula gabungan keuntungan dan kerugianDi samping dua contoh itu, sebenarnya calon suami istri bisa menciptakan kebersamaan harta kekayaan terbatas lainnya.
Dengan adanya perjanjian kebersamaan harta kekayaan terbatas, maka ada tiga macam harta benda dalam perkaw- inan.
- Harta kekayaan milik pribadi suami.
- Harta kekayaan milik pribadi istri.
- Kebersamaan harta kekayaan suami istri.
Bagaimana jika kebersamaan harta kekayaan itu “ditiad- akan sama sekali* (uitsluiting van atle gemeenschap) melalui perjanjian perkavvinan? Berbeda dengan ketentuan sebelumn- ya bahwa apabila kebersamaan harta kekayaan itu ditiadakan, hanya akan ada dua macam harta benda dalam perkawinan, yaitu harta kekayaan milik pribadi suami dan harta kekayaan milik pribadi istri.
Pada prinsipnya, barang-barang yang termasuk dalam kategori harta gono-gini adalah milik bersama (medeeigen- dom) suami dan istri.
Contoh Kasus
Apabila dua orang (A dan B) bersama-sama membeli sebidang tanah, tanah tersebut menjadi hak milik bersama A dan B. Masing-masing A atau B diperbolehkan menjual bagiannya kepada orang lain dan masing-masing berhak menuntut pemecahan dan pembagian (sheiding en deling) di muka pengadilan atau dapat menjual lelang seluruh tanah dengan maksud agar pendapatan dari lelang tersebut bisa dibagi dua.
Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Martalena Pohan (2000: 63), ketentuan tersebut berlaku jika ada syaratnya, yaitu bahwa mereka (A dan B) tidak bisa menjual bagian dari kebersamaan harta atau menuntut pemecahan dan pembagian (sheiding en deling) sebelum ketentuan harta gono-gininya bubar. Artinya. sifat dari kebersamaan harta gono-gini ini adalah ‘kebersamaan harta kekayaan yang terikat” (gebonden medeeigendom), sedangkan hak milik bersama antara A dan B atas sebidang tanah disebut dengan milik bersama yang bebas (wye medeeigendom).
Sumber :Happy Susanto. 2008. Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian. Pp 16-19 . Visi Media Pustaka: Jakarta.