Istilah ‘gono-gini’ merupakan sebuah istilah hukum yang sudah populer di masyarakat Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 330), istilah yang digunakan adalah “gana-gini”, yang secara hukum artinya,”Harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang disusun oleh JS Badudu dan SM Zain (1996: 421), pengertian harta gono-gini juga sama dengan definisi baku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu “Harta perolehan bersama selama bersuami istri”.
Sebenarnya, istilah hukum yang digunakan secara resmi dan legal-formal dalam peraturan perundang-undangan di tanah air, baik dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah harta bersama. Hanya. istilah gono-gini lebih populer dibandingkan dengan istilah yang resmi digunakan dalam bahasa hukum konvensional.
Konsep dan istilah “gono-gini“ sebenarnya diambil dari tradisi Jawa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 330) mendefinisikan kata ‘gana-gini’ dalam tradisi Jawa sebagai ” a nak yang honyo duo bersaudara, laki-laki dan perempuan (dan satu ayah dan sotu ibu)”. Istilah ‘gana-gini’ kemudian dikembangkan sebagai konsep tentang persatuan antara laki- laki dan perempuan dalam ikatan perkawinan. Oleh karena itu, harta yang memang berhubungan dengan ikatan perkawinan terse but kemudian disebut dengan ‘harta gono-gini’.
Di berbagai daerah di Tanah Air sebenamya jug a dikenal istilah-istilah lain yang sepadan dengan pengertian harta gono-gini (di Jawa). Hanya, diistilahkan secara beragam dalam hukum adat yang berlaku di masing-masing daerah. Misalnya di Aceh, harta gono-gini diistilahkan dengan hareuta sihareukat, di Mingkabau dinamakan harta suarang; di Sunda digunakan istilah guna-kaya; di Bali disebut dengan druwe gabro: dan di Kalimantan digunakan istilah barang perpantangan. Dengan berjalanannya waktu, rupanya istilah ‘gono-gini’ lebih populer dan dikenal masyarakat, baik digunakan secara akademis, yuridis, maupun dalam perbendaharaan dan kosa kata masyarakat pada umumnya. Untuk itulah, buku ini menggunakan istilah harta gono-gini agar mudah dipahami oleh masyarakat umum.
Pada dasamya. tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan antara suami dan istri (harta gono-gini). Konsep harta gono-gini pada awalnya berasal dari adat- istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian didukung oleh hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di negara kita. Sehingga. dapat dikatakan ada kemungkinan telah teijadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri (alghele gemeenschap van goederen) dalam perkawinan mereka. Percampuran harta kekayaan (harta gono-gini) ini berlaku jika pasangan tersebut tidak menentukan hal lain dalam peijanjian perkawinan.
Dasar hukum tentang harta gono gini dapat ditelusuri melalui undang-undang dan peraturan berikut.
- UU Perkawinan pasal 35 ayat 1, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta gono-gini (harta bersama) adalah “Harta benda yang diperoleh selama mosa perkawinan Artinya, harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta gono-gini
- KUHPer pasal 119, disebutkan bahwa “Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam peijanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri”
- KHI pasal 85, disebutkan bahwa “Adanya harta bersama da lam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milikmasing-masingsuami atau istri“. Pasal ini sudah menyebutkan adanya harta gono-gini dalam perkawinan. Dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan (gono-gini). Meskipun sudah bersatu, tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah harta milik masing -masing pasangan, baik suami maupun istri.
Pada KHI pasal 86 ayat 1 dan ayat 2, kembali dinyatakan bahwa “Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan“ (ayat 1). Pada ayat 2-nya lebih lanjut ditegaskan bahwa pada dasarnya harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya Demikian juga sebaliknya, harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
Ketentuan dalam KHI pasal 86 (ayat 1 dan 2) kedengarannya bertolak belakang dengan ketentuan (pasal) sebelumnya. Jika dianalisis secara seksama, ketentuan dalam pasal 86 sebenarnya lebih bersifat informatif bahwa dalam hukum Islam tidak dikenal istilah harta gono-gini, yang merupakan persatuan antara harta suami dan istri. Istilah harta gono- gini lebih dikenal dalam ketentuan hukum positif nasional. Berdasarkan ketentuan KHI pasal 85 bahwa sejak terjadinya perkawinan tidak tertutup kemungkinan adanya percampuran antara harta kekayaan suami dan kekayaan istri. Dengan kata “Kemungkinan” dimaksud bahwa harta gono-gini itu masih diperbolehkan asal tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Harta gono-gini mencakup segala bentuk activa dan passiva selama masa perkawinan. Pasangan calon suami istri yang akan menikah diperbolehkan menentukan dalam perjanjian perkawinan bahwa harta perolehan dan harta bawaan merupakan harta gono-gini. Hal ini diatur dalam KHI pasal 49 ayat 1, *Perjanjian perkawinan harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa mosing-masing ke dalam perkawinan maupun yang dtperoleh mosing-masing selama perkawinan. Pasangan calon suami istri tersebut juga diperbolehkan menentukan dalam peijanjian perkawinan bahwa yang tidak termasuk dalam harta gono-gini adalah harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan. seperti harta perolehan. Hal ini diatur dalam KHI pasal 49 ayat 2.’Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi vara dioeroleh selama.
Sumber :Happy Susanto. 2008. Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian. Pp 8-10 . Visi Media Pustaka: Jakarta.