Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) pertama kali berdiri pada tahun 1977 oleh KADIN atau Kamar Dagang dan Industri di Indonesia. Pendirian ini dimaksudkan untuk menjembatani sengketa perdagangan atau jenis lainnya tanpa harus ke pengadilan.
Arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat menjatuhkan putusan yang bersifat final dan mengikat. Idealnya, para pihak yang menyelesaikan sengketa di arbitrase tidak lagi membawa permasalahan ke pengadilan, baik dalam hal eksekusi ataupun membatalkan putusan arbitrase.
Walaupun hanya berupa quasi judicial, lembaga arbitrase akan lebih efektif dipilih untuk menyelesaikan sengketa bisnis, sepanjang dilakukan secara sukarela dan dengan itikad baik. Karena secara prinsip, para pihak memilih arbitrase untuk menghindari pengadilan. Salah satu alasannya karena sifat tertutup arbitrase yang dapat menjaga kerahasiaan kasus mereka. Mengingat, publikasi tentang sengketa kurang baik bagi pebisnis.
Yang menarik dalam arbitrase, sebelum sidang dimulai, para pihak sudah mengetahui posisi dan sikap masing-masing pihak sebagaimana tertuang dalam permohonan arbitrase dan jawaban terhadap permohonan arbitrase. Bahkan, para pihak pun sudah menyerahkan daftar bukti untuk mendukung dalilnya. Sehingga, pada saat sidang pemeriksaan arbitrase, para pihak mendapatkan keleluasaan untuk mengutarakan argumennya secara verbal dan juga dapat menyertakan bukti tambahan.
Permohonan Arbitrase harus disertai pembayaran biaya pendaftaran dan biaya administrasi sesuai dengan ketentuan BANI. Biaya administrasi meliputi biaya administrasi Sekretariat, biaya pemeriksaan perkara dan biaya arbiter serta biaya Sekretaris Majelis.
Tahapan Sengketa di Badan Arbitrase Nasional Indonesia :
1. Permohonan Arbitrase
Permohonan arbitrase dibuat oleh pihak yang ingin memulai proses arbitrase. Pihak ini kemudian disebut pemohon, posisi yang mirip seperti penggugat dalam pengadilan umum. Landasan dibuatnya permohonan ini adalah adanya klausul arbitrase, baik yang ditulis sebelum ada sengketa (pactum de compromittendo) maupun setelah sengketa muncul (akta kompromis).
Permohonan ditujukan kepada pihak yang telah disepakati akan menjadi pihak ketiga yang menjalankan arbitrase, bisa berupa institusi seperti BANI, BASYARNAS, atau lembaga arbitrase internasional, maupun tim arbitrase insidental yang telah disepakati (ad-hoc). Permohonan disampaikan secara tertulis, disertai dengan informasi tentang pihak yang bersengketa, pokok masalah, tuntutan, cara penyelesaian masalah yang dikehendaki, jumlah arbiter, dan lainnya.
2. Penunjukkan Arbiter
Setelah permohonan masuk ke lembaga arbitrase, dilakukan penunjukkan arbiter. Jumlahnya bisa satu orang atau beberapa orang yang membentuk majelis arbiter. Jika hanya satu orang, pihak yang bersengketa harus bersepakat siapa yang akan ditunjuk. Jika beberapa orang, masing-masing pihak akan menunjuk arbiter secara berurutan, kemudian menyepakati satu arbiter terakhir sehingga jumlah total anggota majelis adalah ganjil.
Dalam kasus sengketa merek,arbiter yang ditunjuk tidak melulu harus seorang ahli hukum, tetapi boleh ahli dalam hak kekayaan intelektual. Keputusan arbiter yang benar-benar ahli di bidang yang dipermasalahkan akan lebih mudah diterima.
3. Tanggapan Termohon
Setelah menerima permohonan arbitrase, termohon wajib memberikan jawaban. Hal ini dihitung sejak lembaga arbitrase atau ad-hoc menyatakan permohonan sah dan dapat diproses. Jawaban ini harus diberikan dalam maksimal 30 hari, dengan kemungkinan perpanjangan waktu tak lebih dari 14 hari.
4. Pengajuan Rekonvensi
Setelah menyampaikan jawaban atas tuntutan pemohon arbitrase, pihak termohon dapat mengajukan tuntutan balik—disebut dengan proses rekonveksi. Tuntutan balik ini tidak hanya soal perkara yang sedang berlangsung, tetapi boleh juga tentang prosedur arbitrase yang diinginkan. Tak jarang, rekonveksi ini juga menjadi bagian dari upaya penyelesaian masalah.
5. Sidang Pemeriksaan
Tahapan selanjutnya adalah sidang pemeriksaan, dipimpin oleh arbiter tunggal atau majelis yang sebelumnya telah ditunjuk. Sidang ini bersifat tertutup sehingga hanya diketahui oleh pihak yang terlibat di dalam prosesnya. Selama sidang, arbiter juga dapat mengambil keputusan sela untuk memastikan proses arbitrase berjalan dengan tertib. Melalui proses sidang inilah akan dihasilkan keputusan arbitrase.
Itulah prosedur penyelesaian sengketa merek dagang atau perkara perdata lain yang menjadi domain arbitrase. Selain prosedur tersebut, ada juga biaya-biaya arbitrase yang perlu dibayarkan kepada lembaga yang ditunjuk. Biasanya, lembaga arbitrase akan memproses arbitrase setelah pembayaran sudah dilakukan.
Agar proses arbitrase semakin lancar, Anda tentunya perlu menunjuk pengacara terpercaya yang telah berpengalaman dalam menangani kasus arbitrase.
Read more at https://www.indonesiana.id/read/116747/penyelesaian-sengketa-merek-dagang-melalui-arbitrase#sj4Po3FSagkAtSpU.99
Contoh Kasus Sengketa di Badan Arbitrase Nasional Indonesia
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) mengabulkan gugatan PT Global Haditech kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) terkait pemasangan flow meter. Dengan adanya keputusan tersebut, SKK Migas harus membayarkan ganti rugi pada Global Haditech karena telah memutus kontrak pemasangan flow meter.
Seiring keputusan tersebut, SKK Migas diharuskan membayarkan ganti rugi kepada Global Haditech karena memutus kontrak pemasangan flow meter. SKK Migas diharuskan membayar kompensasi atas pemutusan kontrak pemasangan flow meter sebesar Rp39,56 miliar. (detik.com)