Semua orang senantiasa berharap hubungan keluarga yang harmonis dan langgeng baik dalam satu keluarga antara suami isteri dan anak-anak atau sesama anggota keluarga besar lainnya.Tetapi apa nyana, kenyataan berkata lain. Hubungan itu miris dan nyaris putus tatkala diketahui adanya anggota keluarga yang menjadi pemicu konflik. Konflik ini dipicu setelah diketahui adanya anggota keluarga yang menyalahgunakan harta milik orang tua atau harta warisan (boedel) yang belum dibagi sesuai hukum waris. Harta warisan ini dapat berupa tanah persawahan, kebun, tanah pertapakan atau tanah beserta bangunan rumah tinggal yang barang berharga milik keluarga.
Bagaimana awal mula cara terjadinya (modus kejahatan) yang mengakibatkan sengketa tanah dalam keluarga itu terjadi? Sengketa itu diawali dengan adanya niat jahat (mens rea) dari salah seorang atau beberapa orang anggota keluarga. Nafsu serakah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi menafikan persaudaraan. Tidak peduli dengan sesama saudara kandung, orang tua sekalipun tidak lagi dihormati. Niat jahat itu tidak akan terealisasi jika tidak ada kesempatan untuk mewujudkannya. Kentalnya hubungan persaudaraan menghilangkan rasa curiga, sehingga diyakini tidak mungkin ada anggota keluaga yang akan melukai hati sesamanya. Akibatnya, pengamanan terhadap bukti kepemilikan tanah, baik yang sudah bersertifikat maupun belum berserfikat tidak begitu diperhatikan.
Anggota keluarga yang memiliki niat jahat dan kesempatan melakukan kejahatan dengan motivasi mendapatkan keuntungan ekonomi biasanya dibantu oleh pihak lain. Bahkan pihak lain yang bukan anggota keluarga ini merupakan pelaku utamanya (dader intelectual). Mereka menjadi sutradara yang menyusun skenario untuk memuluskan niat jahatnya. Bankan lembaga perbankan sekalipun menjadi sasaran dan media untuk dapat menyelesaikan niat jahatnya.
Kejahatan yang dilakukan biasanya merupakan tindak pidana umum yang dapat berupa penipuan, penggelapan KUHP dan/atau pemalsuan baik pemalsuan surat maupun autentik (pasal 372, pasal 378 dan pasal 263 serta pasal 266 KUHP). Dan apabila pelaksanaan kejahatan itu juga memanfaatkan perbankan maka dapat juga dimintai pertanggungjawaban tindak pidana perbankan (tipibank). Bankir dapat juga ikut serta atau membantu atas terjadinya kejahatan itu. Keterlibatan perbankan ini juga dapat dimintai pertanggungjawaban jika kredit tersebut menjadi macet dan terdapat pelanggaran prinsip kehati-hatian dan pemenuhan prosedur penyalurannya.
Sumber : analisadaily.com