Hakim Agung MA Sebut Jerat Pidana Korporasi Belum Maksimal

Hakim Agung Mahkamah Agung, Surya Jaya menyebut penegakan hukum terhadap korporasi masih kurang jika dibandingkan orang per orang yang melakukan tindak pidana. Padahal, kata dia, MA telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.

“Perma bertujuan menciptakan agar iklim usaha kompetitif. Usaha berjalan di Indonesia bukan lagi usaha yang ada sogok, suap,” kata Surya Jaya dalam diskusi Webinar Hukumonline 2020 tentang Tindak Pidana Korporasi: Batasan Tanggung Jawab Pengurus Perusahaan dalam Aksi Korporasi, Rabu (22/4). 

Dalam Peraturan MA itu telah dijabarkan jika korporasi melakukan tindak pidana, maka penegak hukum berhak meminta pertanggungjawaban hukum dari seseorang yang tercatat pada akta korporasi sebagai penanggung jawab korporasi tersebut.

Misalnya, direktur utama atau dewan direksi yang memang tercatat bertanggungjawab dalam hal korporasi. Sementara untuk korporasinya akan dikenakan denda sesuai peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, jika memang korporasi tidak sanggup membayar denda yang dikenakan, maka aparat berhak menyita aset korporasi sebagai ganti kerugian negara yang ditimbulkan akibat tindak pidana untuk kemudian dilelang.

Perma tersebut diyakini Surya bisa menciptakan iklim usaha yang kompetitif dan bersih. Idealnya tak perlu ada kerisauan bagi pelaku usaha atau penegak hukum untuk menjalankan apa yang diatur Perma. Namun, kenyataannya, Perma Pidana Korporasi belum berjalan maksimal.

Menurut Surya saat ini penegakan hukum terhadap korporasi masih sangat terbatas. Alasan utama karena faktor sumber daya manusia berupa penegak hukum yang masih punya persepsi berbeda.

“Tidak sedikit penegak hukum masih terpengaruh pandangan bahwa korporasi tidak bisa dihukum karena benda mati,” kata dia.

Surya bilang pandangan dari para penegak hukum yang menyebut korporasi adalah benda mati ini ‘memenjarakan’ sistem peradilan bagi korporasi yang jelas-jelas telah diatur dalam Perma.

Para penegak hukum masih memandang bahwa korporasi tak memiliki mens rea atau sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana. Padahal, menurut Surya, jika tidak ada penegakan hukum terhadap korporasi maka masih belum ada keadilan dalam penegakan hukum.

“Perbuatan pengurus natuurlijk persoon dibawa ke korporasi. Tidak adil pelaku menikmati, mendapatkan manfaat dan keuntungan. Dia (korporasi) berbuat, tidak diminta tanggung jawab. Itu persoalan rasa keadilan,” katanya.

Sumber cnnindonesia.com