Pendiri Facebook Mark Zuckerberg

Gugatan kelompok terhadap Facebook salah alamat?

Kelompok masyarakat mendaftarkan gugatan kelompok atau yang lebih dikenal dengan class action terhadap Facebook dan konsultan politik Cambridge Analytica, terkait dugaan penyalahgunaan data ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (07/05).

Gugatan Indonesia ICT Institute (IDICTI) dan Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII) terhadap Facebook Pusat, Facebook Indonesia dan konsultan politik pengumpul data Cambridge Analytica itu karena hingga saat ini belum ada kejelasan apapun seputar kebocoran data 1,1 juta pengguna Facebook di Indonesia.

Sedang tuntutannya, berdasarkan penjelasan Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi, adalah permintaan maaf dari Facebook serta transparansi perihal kebocoran data.

“Dan kita harapkan pemerintah bisa memblokir Facebook terlebih dahulu sampai persoalan ini jelas,” kata Heru.

Belum bisa diblokir

Pemerintah lewat Kementerian Komunikasi dan Informatika mengatakan belum bisa memblokir Facebook karena belum memiliki bukti pelanggaran hukum.

“Tugas saya memblok, dan kami tidak ada keraguan. Tapi waktu kami mengeblok itu ada bukti pelanggaran hukumnya. Telegram kita tidak ada keraguan untuk mengeblok, Tumbler kita tidak ada keraguan untuk mengeblok karena ada buktinya,” kata Dirjen Aplikasi Informatika, Semuel Abrijani Pangerapan.

“Untuk saat ini kami tidak memegang bukti kesalahan hukumnya (Facebook).”

Salah alamat?

Pakar Informasi dan Transaksi Elektronik dari Perbanas Surabaya, Ronny, mengatakan gugatan kelompok ini wajar untuk menekan manajemen Facebook meningkatkan transparansi dan keamanan layanan meskipun gugatan mungkin salah alamat.

“Saya tidak mengatakan bahwa yang melakukan gugatan itu keliru tetapi barangkali marilah kita lihat fokusnya apa dulu. Fokusnya kalau saya sebenarnya transparansi dulu, jangan langsung dikatakan Facebook salah,” kata Ronny.

Selain itu, menurut Ronny mestinya “tuntutan itu dialamatkan juga ke pemerintah lewat Kementerian Komunikasi dan Informatika karena pihak pemerintahlah yang tepat untuk melakukan komunikasi atau korespondensi ke luar negeri.”

Heru dari IDICTI beralasan gugatan diarahkan justru karena pemerintah Indonesia dianggap kurang tanggap. Namun, Semuel Pangerapan menyanggah hal tersebut.

“Tidak tanggap bagaimana? Jadi selama ini apa yang kita kerjakan? Kita langsung mengeluarkan surat, kita keluarkan SP I, SP II. Kita mengingatkan mereka agar patuh dan mereka menjawab dan mereka memberikan rinci,” jawab Semuel.

“Dari awal kita langsung bekerja, contohnya sudah ada perbaikan-perbaikan yang dilakukan untuk ke depannya. Sudah ada investigasi yang dilakukan untuk yang sejenis, yang belum di-blow up pun mereka sudah membenahi. Kita bertindak, tapi kan bertindaknya harus profesional.”

Facebook sudah membalas surat peringatan kedua dari Keminfo namun belum melaporkan hasil audit investigasi.

Semuel menjelaskan bahwa hal itu disebebkan karena Inggris, tempat Cambridge Analytica bermarkas, mendapat keistimewaan secara jurisdiksi untuk melakukan investigasi dahulu.

Sementara itu, Facebook “sudah melakukan audit sendiri terhadap aplikasi-aplikasi sejenis yang sudah beredar sebelumnya dan penonaktifan aplikasi serta pembenahan terhadap Standar Komunitas mereka.”

Selain di Indonesia, gugatan class action terhadap Facebook saat ini tengah diajukan di Amerika Serikat dan Inggris meski tak terkait dengan kebocoran data.

Gugatan ini lebih terkait dengan teknologi pengenalan wajah Facebook yang diduga mengumpulkan data wajah pengguna di luar izin.